Shalat sebagai ciri orang Beriman

SHALAT SEBAGAI CIRI ORANG BERIMAN

A. Latar Belakang

Rasulullah pernah bersabda: “Shalat itu adalah tiangnya agama, barang siapa yang mendirikannya maka berarti ia telah mendirikan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia telah meruntuhkan agama” (Al-Hadits). Bahkan hal ini dipertegas oleh firman Allah SWT.:

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوتِ وَالصَّلوةِ الْوُسْطَ وَقُوْمُوْا لِلَّهِ قَنِتِيْنَ.

Artinya: “Jagalah (peliharah) segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah [2]: 238).

Dengan hujjah di atas, dapat kita pahami bahwa begitu pentingnya melaksanakan dan memelihara shalat (shalat fardhu). Karena melaksanakan shalat merupakan salah satu ciri bagi orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT., dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini telah nyata dalam Firman-Nya:

وَاَقِمِ الصَّلَاةَ لِلذِّكْرِيْ

Artinya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (Thaha [20]: 14)

Jelas sekali, bahwa dengan shalat kita dituntut untuk bisa mengingat-Nya, mengingat kebesaran-Nya dan mengakui kerendahan diri di hadapan-Nya. Namun, ada sebagian orang yang salah mengartikan makna ayat ini, mereka beranggapan tidak wajib shalat kalau kita bisa mengingat-Nya tanpa melakukan gerakan shalat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Mereka hanya melihat esensi shalat semata, tidak melihatnya sebagai syari’at yang harus dilaksanakan oleh orang yang beriman.

Oleh karena itu, kiranya hal itu bisa dijadikan salah satu alasan dan latar belakang dibuatnya makalah ini dengan judul ‘Shalat Sebagai Ciri Orang yang Beriman”.

B. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang di atas kiranya dapat disusun beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Apa yang dimaksud dengan shalat?
  2. Mengapa shalat dijadikan sebagai salah satu ciri orang yang beriman?
  3. Bagaimana ciri-ciri orang yang beriman?
  4. Bagaimana shalat orang yang beriman?
  5. Apa arti shalat bagi orang yang beriman?
  6. Bagaimana shalat orang yang fasik?

C. Tujuan Makalah

Dengan adanya makalah ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami hal-hal di bawah ini:

  • Pengertian shalat
  • Alasan dijadikannya shalat sebagai ciri orang yang beriman
  • Ciri-ciri orang yang beriman
  • Shalatnya orang yang beriman
  • Arti shalat bagi orang yang beriman
  • Shalatnya orang yang fasik

D. Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari empat bab, yaitu:

Bab I pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisannya.

Bab II isi, yang terdiri dari landasan teoritis tentang shalat, ciri-ciri orang yang beriman, shalatnya orang yang beriman, arti shalat bagi orang yang beriman, dan shalatnya orang yang fasik.

Bab III penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran

BAB II

Shalat Sebagai Ciri Orang Beriman

1. Pengertian Shalat

Shalat menurut bahasa adalah do’a, sedangkan menurut istilah adalah pekerjaan dan ucapan yang diawali oleh takbiratul ihram dan diakhiri oleh salam. Sampai di manakah kebenaran pengertian tersebut? Marilah diuji dan dicari kebenarannya. (Falih, 1973: 26)

Permulaan shalat, shalat didirikan dengan membaca kalimah kebesaran Allah. Yaitu musholi bertakbir dengan mengucapkan Allahu Akbar maka, serempak jiwanya bergerak menghadap ke Hadirat Allah Yang Mahatinggi-Mahamulia. Sementara musholi meninggalakan seluruh urusan dunianya dan memusatkan pikirannya untuk menghadap Allah SWT. Sehingga, sudah barang tentu ia putus hubungan dengan (makhluk) di bumi, meskipun jasadiahnya ada di atas hamparan bumi.Selesai memuji, memohon ampun dan pertolongan-Nya, kembali turun ke Shalat, sebagaimana disyariatkan oleh Islam, bukanlah sekedar hubungan ruhani dalam kehidupan seorang Muslim.

Sesungguhnya shalat dengan adzan dan iqamatnya, berjamaah dengan keteraturannya, dengan dilakukan di rumah-rumah Allah, dengan kebersihan dan kesucian, dengan penampilan yang rapi, menghadap ke kiblat’ ketentuan waktunya dan kewajiban-kewajiban lainnya’ seperti gerakan, tilawah, bacaan-bacaan dan perbuatan-perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan ini semuanya maka shalat punya nilai lebih dari sekedar ibadah bumi, seraya berdoa selamat (mengucap salam) kepada makhluk bumi, keselamatan dan kesejahteraan yang diperuntukkan bagi sesama makhluk-Nya. Sebab itulah shalat berawal dengan takbir ihram, Allahu Akbar dan berakhir dengan salam, ‘Assalamu’alaikum’.

2. Shalat Sebagai Ciri Orang Beriman

Kewajiban dan syi’ar yang paling utama adalah shalat, ia merupakan tiang Islam dan ibadah harian yang berulang kali. Ia merupakan ibadah yang pertama kali dihisab atas setiap mukmin pada hari kiamat. Shalat merupakan garis pemisah antara iman dan kufur, antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadist-hadistnya sebagai berikut:

Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”

(HR. Muslim)

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan berarti ia kafir.” (HR- Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad)

Makna hadits ini sangat jelas di kalangan para sahabat r.a. Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili berkata, “Para sahabat Nabi SAW. tidak melihat sesuatu dari amal ibadah yang meninggalkannya adalah kufur selain shalat.” (HR. Tirmidzi)

Tidak heran jika Al-Qur’an telah menjadikan shalat itu sebagai pembukaan sifat-sifat orang yang beriman yang akan memperoleh kebahagiaan dan sekaligus menjadi penutup. Pada awalnya Allah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ.الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خَاشِعُوْنَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya.” (Al Mu’minun: 9)

Ini menunjukkan pentingnya kedudukan shalat dalam kehidupan seorang muslim dan masyarakat Islam yang mengaku beriman.

Al-Qur’an juga menganggap bahwa menelantarkan (mengabaikan) shalat itu termasuk sifat-sifat masyarakat yang tersesat dan menyimpang. Adapun terus menerus mengabaikan shalat dan menghina keberadaannya, maka itu termasuk ciri-ciri masyarakat kafir. Allah SWT berfirman:

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Allah SWT. juga berfirman mengenai sikap orang-orang kafir yang mendustakan risalah sebagai berikut:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ruku’lah, niscaya mereka tidak mau ruku’.” (AI Mursalat: 48)

Kemudian dalam ayat lainnya Allah berfirman:

Dan apabila kamu menyeru mereka untuk shalat, mereka menjadikannnya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (Al Maidah: 57).

Sesungguhnya masyarakat Islam adalah masyarakat yang Rabbani, baik secara ghayah (orientasi) maupun wijhah (arahan). Sebagaimana Islam itu agama yang Rabbani, baik secara nasy’ah (pertumbuhan) maupun masdar (sumbernya), masyarakat yang ikatannya sambung dengan Allah SWT, terikat dengan ikatan yang kuat.

3. Ciri-ciri Orang Beriman

  • Tidak mempertuhankan dan menyembah selain Allah
  • Khusyuk dalam sholatnya ( Qs. Al – MU’minun ayat :2 dan 9)
  • Tidak sombong ( Qs. Al- Furqan ayat : 63)
  • Memohon perlindungan pada Allah dari siksa jahannam ( Qs. Al-Furqan
  • ayat :65)
  • Tidak berbuat syirik, Membunuh tanpa sebab yang tepat, dan berzina (Qs. Al- Furqan ayat : 68)
  • Tidak bersaksi palsu ( Qs. Al-Furqan Ayat :72)
  • Menjauhkan diri dari perkataan yang tidak berguna ( Qs. Al mu’minun ayat :1-11)
  • Menunaikan zakat
  • Menjaga kemaluannya
  • Memelihara amannahnya
  • Memelihara sholatnya
  • Menepati janjinya
  • bersyukur saat mendapatkan nikmat dan bersabar saat mendapatkan mushibah sabda Rasul : “Aku mengagumi seorang mu’min. Bila memperoleh kebajikan ia memuji Allah dan bila ditimpa mushibah dia memuji Allah dan bersabar (karena mushibah itu). Seorang mu’min dberikan pahala dalam segala hal, walaupun sekedar sesuap nasi yang diberikan pada isterinya.”.( HR.Imam ahmad dan Abu Daud)

Cici-ciri orang beriman yang lain disebutkan juga dalam Qs. Al-Anfal bahwa:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah hati mereka penuh ketakutan, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya (keterangan Allah) niscaya bertambahlah keimanan mereka dan kepada Tuhan mereka berserah, mereka tetap mengerjakan sholat (pada waktunya) dan membelanjakan (pada perkara kebajikan) sebagian daripada rizki yang Kami (Allah) kurniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman sebenar-benarnya, mereka itu mendapat (kehormatan) di sisi Tuhan mereka, dan mendapat ampunan serta rezki yang berharga.”

Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat”.

(HR. Muslim)

Di dalam islam dan iman terkumpul agama secara keseluruhan. Sebagaimana nabi membedakan makna islam, iman dan ihsan.

Islam

Hukum islam terbukti dan terwujud dalam dua kalimah syahadat, menegakan shalat, membayar zakat, puasa ramadlan dan menunaikan ibadah haji ke baitullah bagi orang yang mampu. Inisemua adalah sui’ar-syi’ar islam yang paling tampak. Seseorang yang melaksanakannya berarti sempurnalah penghambaannya. Apabila ia meninggalkannya berarti ia tidak tunduk dan berserah diri.

Lalu penyerahan hati yakni ridla dan taat, dan tidak mengganggu orang lain baik dengan lisan maupun perbuatan, ia menunujukan adanya rasa ikatan ukhuwwah islamiyyah. Sedangkan tidak menyakiti orang lain merupakan bentuk ketaatan menjalankan perintah agama, yang memang menganjurkan kebaikan dan melarang mengganggu orang lain serta memerintahkan agar mendermakan dan menolong serta mencintai perkara-perkara yang baik, Ketaatan seseorang dengan berbagai hal tersebut juga hal lainnya merupakan sifat terpuji, yakni jenis kepatuhan dan ketaatan,dan ia merupakan gambaran yang nyata tentang islam. Hal-hal tersebut mustahil dapat terwujud tanpa pembenaran hati (iman). Dan berbagai hal itulah yang disebut sebagai islam.

Iman

Beliau telah menafsirkan iman kepada utusan Bani Abdil Qais dengan penafsiran islam yang ada dalamhadits Jibril. Sebagaimana yang ada dalam hadits Syu’abul Iman (cabang-cabang iman). Rasulullah SAW. Bersabda: “Yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan.”.

Sudah diketahui bersama bahwa beliau tidak memaksudkan hal-hal tersebut menjadi iman kepada Allah tanpa disertai iman dalam hati, sebagaimana telah dijelaskan dalam banyak dalil syar’i tentang pentingnya iman dalam hati.

Jadi syi’ar-syi’ar atau amalan-amalan yang bersifat lahiriyyah yang disertai iman dalam dada itulah yang disebut iman. Dan makna islam mencakup pembenaran hait dan amalan perbuatan, dan itulah istislam (penyerahan diri) kepada Allah.

Berdasarkan ulasan tersebut maka dapat dikatakan, sesungguhnya sebutan islam daniman iman apabila bertemu dalam satu tempat maka islam ditafsirkan dengan amalan-amalan lahiriyyah, sedangkan iman ditafsirkan keyakinan-keyakinan batin.

Keduanya adalah wajib, ridla Allah tidak dapat diperoleh dan siksa Allah tidak dapat dihindarkan kecuali dengan kapatuhan lahiriyyah disertai dengan kepatuhan batiniyyah. Jadi tidak sah pemisahan antara keduanya.

Seseorang tidak dapat menyempurnakan iman dan islamnya yang telah diwajibkan atasnya kecuali dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana kesempurnaan tidak mengharuskan sampainya pada puncak yang dituju, karena adanya bermacam-macam tingkatan sesuai dengan tingginya kuantitas dan kualitas amal serta keimanan.

4. Shalatnya Orang Beriman

Orang beriman melaksanakan shalat sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. serta sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. sebagaimana sabdanya:

إنما صنعت هذا لتأتموابي ولتعلموا صلاتي

Aku lakukan hal ini agar kalian dapat mengikuti aku (bermakmum) dan agar kamu sekalian tahu shalatku” (HR. Bukhari-Muslim)

صلوا كما رأيتموني أصلي

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhari-Muslim).

Orang yang beriman melakukan shalat tidak hanya berupa gerakan-dan ucapan yang telah dicontohkan Rasulullah melainkan menekankan pada esensi shalat yaitu terdapatnya kekhusuan.

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya.” (Al Mu’minun: 9). Jadi kehkusu’an merupakan salah satu tanda iman dan tanda-tanda orang yang memperoleh keberuntungan.

Shalat merupakan ibadah harian yang menjadikan seorang Muslim selalu dalam perjanjian dengan Allah. Ketika ia tenggelam dalam bahtera kehidupan maka datanglah shalat untuk menerjangnya. Ketika dilupakan oleh kesibukan dunia maka datanglah shalat untuk mengingatkannya. Ketika diliputi oleh dosa-dosa atau hatinya penuh debu kelalaian maka datanglah shalat untuk membersihkannya. Ia merupakan “kolam renang” ruhani yang dapat membersihkan ruh dan menyucikan hati lima kali dalam setiap hari, sehingga tidak tersisa kotoran sedikit pun.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Kamu sekalian berbuat dosa, maka kamu telah melakukan shalat subuh maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu sekalian berbuat dosa, maka jika kamu melakukan shalat zhuhur, maka shalat itu membersihkannya, kemudian berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat ‘asar maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat maghrib, maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat isya’, shalat itu akan membersihkannya, kemudian kamu tidur maka tidak lagi di catat dosa bagi kamu hingga kamu bangun.” (HR. Thabrani)

5. Arti Sholat Bagi Orang-Orang Yang Beriman

Dari Ibnu Umar r.a. berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bangunan islam ditegakkan diatas lima tiang : Bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta’lim yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi bersih dan bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi bersih dan suci.

Shalat merupakan tathbiq ‘amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal yang membuka atap masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah.

Imam Asy-syahid Hassan Al Banna berkata, dalam menjelaskan shalat secara sosial, setelah beliau menjelaskan pengaruh shalat secara ruhani: “Pengaruh shalat tidak berhenti pada batas pribadi, tetapi shalat itu sebagaimana disebutkan sifatnya oleh Islam dengan berbagai aktifitasnya yang zhahir dan hakikatnya yang bersifat bathin merupakan minhaj yang kamil (sempurna) untuk mentarbiyah ummat yang sempurna pula. Shalat itu dengan gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan. Shalat dengan dipersyaratkannya membaca AL Fatihah di dalamnya, sementara AL Qur’an menjadi kurikulum Tsaqafah Islamiyah yang sempurna telah memberikan bekal pada akal dan fikiran dengan berbagai hakekat ilmu pengetahuan, sehingga orang yang shalat dengan baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya dan akalnya pun mendapat gizi. Maka kesempurnaan manakah dalam pendidikan manusia secara individu setelah ini? Kemudian shalat itu dengan disyaratkannya secara berjamaah, maka akan bisa mengumpulkan ummat lima kali setiap hari dan sekali dalam satu pekan dalam shalat jum’at di atas nilai-nilai sosial yang baik, seperti ketaatan, kedisiplinan, rasa cinta dan persaudaraan serta persamaan derajat di hadapan Allah yang Maha Tingi dan Besar. Maka kesempurnaan yang manakah dalam masyarakat yang lebih sempurna daripada masyarakat yang tegak di atas pondasi tersebut dan dikuatkan di atas nilai-nilai yang mulia?

Sesungguhnya shalat dalam Islam merupakan sarana tarbiyah yang sempurna bagi individu dan pembinaan bagi membangun ummat yang kuat. Dan sungguh telah terlintas dalam benak saya ketika sedang menjelaskan prinsip-prinsip kemasyarakatan saat ini bahwa shalat yang tegak dan sempurna itu bisa membawa dampak kebaikan bagi pelakunya dan bisa membuang sifat-sifat buruk yang ada. Shalat telah mengambil dari”Komunisme” makna persamaan hak dan persaudaraan yaitu dengan mengumpulkan manusia dalam satu tempat yang tidak ada yang memiliki kecuali Allah yaitu Masjid; dan Shalat telah mengambil dari “kediktatoran” makna kedisplinan dan semangat yaitu dengan adanya komitmen untuk berjamaah’ mengikuti Imam dalam setiap gerak dan diamnya, dan barang siapa yang menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka. Shalat juga mengambil dari “Demokrasi” suatu bentuk nasehat, musyawarah dan wajibnya mengembalikan Imam ke arah kebenaran apabila ia salah dalam kondisi apa pun. Dan shalat biasa membuang segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua ideologi tersebut di atas seperti kekacauan Komunisme, penindasan diktaktorisme, kebebasan tanpa batas demokrasi, sehingga shalat merupakan minuman yang siap diteguk dari kebaikan yang tidak keruh di dalamnya dan tidak ada keruwetan” (URGENSI SHOLAT, Yusuf Al-Qardawi)

Karena itu semua maka masyarakat Islam pada masa salafus shalih sangat memperhatikan masalah shalat, sampai mereka menempatkan shalat itu sebagai”mizan” atau standar, yang dengan neraca itu ditimbanglah kadar kebaikan seseorang dan diukur kedudukan dan derajatnya. Jika mereka ingin mengetahui agama seseorang sejauh mana istiqamahnya maka mereka bertanya tentang shalatnya dan sejauh mana ia memelihara shalatnya, bagaimana ia melakukan dengan baik. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

Apabila kamu melihat seseorang membiasakan ke Masjid, maka saksikanlah untuknya dengan iman.” (HR. Tirmidzi).

Dalam kitab Jami’ush shogir lima orang sahabat r.a. yaitu Tsauban, Ibnu Umar, Salamah, Abu Umamah dan Ubadah r.a.telah meriwayatkan hadist ini : ” Sholat adalah sebaik-baik amalan yang ditetapkan Allah untuk hambanya.”. Begitupun dengan maksud hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud dan Anas r.a.

Begitulah orang orang yang beriman itu bukanlah orang yang melaksanakan ritual dan gerakan-gerakan yang diperintahkan dalam sholat semata tetapi dapat mengaplikasikannya dalam keseharianya. Sholat sebagai salah satu penjagaan bagi orang-orang yang beriman yang benar-benar melaksanakannya.

“….sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar…”(Qs. Al-Ankabut ayat 45).

Sholat adalah salah satu aplikasi dari keimanan yang diambil dari konsekuensi rukun islam yang pertama. Sebagai muslim yang memilki iltizam terhadap apa yang telah menjadi konsekuensi pengakuannya terhadap keimanannya pada Allah, maka sholat akan menjadi pencegah kemaksiatan dan kemungkaran dari dirinya sebagaimana telah disebutkan dalam ayat tadi.

Abdullah bin mas’ud berkata ” Sesungguhnya aku mengamati masyarakat kami bahwa tidak seorangpunyang meninggalkan sholat kecuali seorang munafik yang diketahui kemunafikannya“.(HR. Muslim)

Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, melakasanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.(HR. Imam Bukhari dan muslim)

Sholat merupakan salah satu tiang bangunan islam. Begitu pentingnya arti sebuah tiang dalam suatu bangunan yang bernama islam, sehingga takkan mungkin untuk ditinggalkan.

Makna bathin juga dapat ditemukan dalam sholat yaitu: kehadiran hati, tafahhum ( Kefahaman terhadap ma’na pembicaraan), ta’dzim (Rasa hormat), mahabbah, raja’ (harap) dan haya (rasa malu), yang keseluruhannya itu ditujukan kepada Allah sebagai Ilaah.

6. Sholatnya Orang-Orang Fasik

Sholat sebagai suatu yang mulia bagi orang-orang yang beriman dan mencapai kekhusyu’an. Namun lain halnya dengan orang yang ‘imannya tipis’, sholat menjadi sesuatu yang sangat memberatkan mereka seperti dalam firman Allas Swt :

Dan mintalah pertolongan (pada Allah) dengan sabar dan sholat dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi oerng-orang yang khusyu’ yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.

Adapun beberapa golongan yang digolongkan mengenai pelaksanaan solatnya yang tergolong kedalam perbuatan orang-orang fasik.

Golongan pertama adalah golongan orang yang telah mengetahui ilmu tentang shalat, yaitu mengenai syarat dan rukunnya, perkara-perkara yang membatalkannya, tentang bersuci dari hadas, begitu juga bacaannya sudah betul dan lain sebagainya. Akan tetapi golongan ini tidak mampu melawan nafsu. Sehingga godaan dan tarikan dunia mudah memalingkan mereka daripada menunaikan kewajiban kepada Tuhannya seperti perintah shalat ini. Bila mereka sedang ada mood maka ditunaikannya juga shalat. Tetapi bila ada urusan pekerjaan, maka mereka lupakan saja shalat dan mendahulukan apa saja tuntutan pekerjaan mereka walaupun mereka tahu perbuatan itu berdosa. Dengan kata yang lain, mereka tidak istiqomah di dalam mengerjakan perintah shalat. Golongan ini dihukumkan sebagai orang fasiq. Seperti firman Allah di dalam Al Quran: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq”.

Golongan kedua yaitu orang –orang yang sudah mengerjakan shalat dan sudah tahu ilmunya, akan tetapi tidak khusyuk dalam mengerjakannya. Yakni, jiwa dan fikirannya tidak ditumpukan untuk mengingati Allah dengan menghayati bacaan-bacaan dalam shalat. Fikirannya melayang-layang memikirkan hal-hal lain di luar shalat, seperti perniagaannya, kerjanya, istrinya, anaknya, dan lain-lain lagi. Golongan ini tidak menjiwai shalatnya, malah pekerjaannya di luar shalat itu yang dijiwai sehingga mengganggu ibadah shalatnya. Mereka diancam oleh Allah SWT dengan firmanNya:

Maka kecelakaanlah (neraka Wail) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai di dalam shalatnya“. (Al Ma’un 4-5)

Adapun ciri orang yang munafik dapat dilihat dalam pelaksanaan sholat itu sendiri:

Sesungguhnya orang munafik itu menipu Allah dan Allah membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk sholatmereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya(dengan sholat) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah melainkan dengan sedikit sekali“(Qs. Annisa Ayat 142).

BAB III

PENUTUP

Beberapa pelajaran mengenai pengertian sholat, ma’na sholat dan hal-hal lain yang menerangkan tentang sholat telah teruraikan dalam makalah ini walau mungkin tak sempurna dan masih banyak kesalahan di dalammya.

Sholat sebagai suatu tarbiyyah yang begiu luar biasa yang mengajarkan kebaikan dalam segala aspek kehidupan, sebagai pencegah kemungkaran dan kemaksiatan, sebagai pembeda antara orang yang beriman dan orang yang kafir, sholat sebagai syariat dari Allah dalam kehidupan,semoga dapat difahami, diamalkan dan diaplkasikan dengan benar dalam kehidupan kita.

Kebenaran datang dari Allah semata dan kesalahan-kesalahan takkan lepas dari kami sebagai manusia yang menmiliki banyak kekurangan.

http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2008/10/31/shalat-sebagai-ciri-orang-beriman/

READ MORE >> Shalat sebagai ciri orang Beriman
Category: 0 komentar

Pengertian Shalat dalam Fiqih

MAKALAH FIQIH TENTANG PENGERTIAN SHOLAT

Wednesday, April 30, 2008

CREATED : NINA YULIANI
SCHOOL : STAI MAJALENGKA
EDITOR : anakciremai 2008

SHOLAT
I. Pendahuluan
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah.
Untuk membatasi bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib kaitannya dengan kehidupan sehari – hari.

I. Pengertian Shalat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology

/ istilah, para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah ditentukan (Sidi Gazalba,88)
Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau “mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya” (Hasbi Asy-Syidiqi, 59)
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Bashari Assayuthi, 30)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan denga perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.

II. Sejarah Dan Dalil Tentang Kewajiban Shalat
a. Sejarah Tentang Diwajibkan Shalat
Perintah tentang diwajibkannya mendirikan shalat tidak seperti Allah mewajibkan zakat dan lainnya. Perintah mendirikan shalat yaitu melalui suatu proses yang luar biasa yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW yaitu melalui Isra dan Mi’raj, dimana proses ini tidak dapat dipahami hanya secara akal melainkan harus secara keimanan sehingga dalam sejarah digambarkan setelahnya Nabi melaksanakan Isra dan Mi’raj, umat Islam ketika itu terbagi tiga golongan yaitu, yang secara terang – terangan menolak kebenarannya itu, yang setengah – tengahnya dan yang yakin sekali kebenarannya.
Dilihat dari prosesnya yang luar biasa maka shalat merupakan kewajiban yang utama, yaitu mengerjakan shalat dapat menentukan amal – amal yang lainnya, dan mendirikan sholat berarti mendirikan agama dan banyak lagi yang lainnya

b. Dalil – Dalil Tentang Kewajiban Shalat
Al-Baqarah, 43
وَاَقِيْمُوْ الصَّلَىةَ وَآتُوْ الزَّكَوةَوَارْكَعُوْامَعَ الرَّاكِعِيْنَ
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang – orang yang ruku
Al-Baqarah 110
وَاَقِيْمُوْ الصَّلَوْةَ وَآتُوْالزَّكَوةَ وَمَاتُقَدِّمُوْا لاَِنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدُاللهِط اِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya : Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa – apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan dapat pahalanya pada sisi Allah sesungguhnya Allah maha melihat apa – apa yang kamu kerjakan
Al –Ankabut : 45
وَاَقِيْمِ الصَّلَوةَ اِنَّ الصَّلَوةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرَ
Artinya: Kerjakanlah shalat sesungguhnya shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan munkar.
An-Nuur: 56
وَاَقِيْمُوْ الصَّلاَةَ وَآتُوْ الزَّكَوةَ وَاَطِيْعُوْ االرَّسُوْلَ لَعَلَكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Artinya : Dan kerjakanlah shalat, berikanlah zakat, dan taat kepada Rasul, agar supaya kalian semua diberi rahmat
Dari dalil – dalil Al-Qur'an di atas tidak ada kata – kata perintah shalat dengan perkataan “laksanakanlah” tetapi semuanya dengan perkataan “dirikanlah”.
Dari unsur kata – kata melaksanakan itu tidak mengandung unsur batiniah sehingga banyak mereka yang Islam dan melaksanakan shalat tetapi mereka masih berbuat keji dan munkar. Sementara kata mendirikan selain mengandung unsur lahir juga mengandung unsur batiniah sehingga apabila shalat telah mereka dirikan, maka mereka tidak akan berbuat jahat

III. Batas Waktu Shalat Fardlu
1. Shalat Dzuhur
Waktunya: ketika matahari mulai condong ke arah Barat hingga bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan benda tersebut kira – kira pukul 12.00 – 15.00 siang
2. Shalat Ashar
Waktunya: sejak habisnya waktu dhuhur hingga terbenamnya matahari. Kira – kira – kira pukul 15.00 –18.00 sore
3. Shalat Magrib
Waktunya: sejak terbenamnya matahari di ufuk barat hingga hilangnya mega merah di langit. Kira – kira pukul 18.00 – 19.00 sore


4. Shalat Is’ya
Waktunya: sejak hilangnya mega merah di langit hingga terbit fajar. Kira – kira pukul 19.00 – 04.30 malam
5. Shlat Shubuh
Waktunya : sejak terbitnya fajar (shodiq) hingga terbit matahari. Kira – kira pukul 04.00 – 5.30 pagi

IV. Beberapa Pelajaran Dan Kewajiban Shalat
a. Shalat Merupakan Syarat Menjadi Takwa
Taqwa merupakan hal yang penting dalam Islam karena dapat menentukan amal / tingkah laku manusia, orang – orang yang betul – betul taqwa tidak mungkin melaksanakan perbuatan keji dan munkar, dan sebaliknya
Salah satu persyaratan orang – orang yang betul betul taqwa ialah diantaranya mendirikan shalat sebagimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah

b. Shalat Merupakan Benteng Kemaksiatan
Shalat merupakan benteng kemaksiatan artinya bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Semakin baik mutu shalat seseorang maka semakin efektiflah benteng kemampuan untuk memelihara dirinya dari perbuatan makasiat
Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar apabila dilaksanakan dengan khusu tidak akan ditemukan mereka yang melakukan shalat dengan khusu berbuat zina. Maksiat, merampok dan sebagainya. Merampok dan sebagainya tetapi sebaliknya kalau ada yang melakukan shalat tetapi tetap berbuat maksiat, tentu kekhusuan shalatnya perlu dipertanyakan. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur'an surat Al-Ankabut: 45
c. Shalat Mendidik Perbuatan Baik Dan Jujur
Dengan mendirikan shalat, maka banyak hal yang didapat, shalat akan mendidik perbuatan baik apabila dilaksanakan dengan khusus. Banyak yang celaka bagi orang – orang yang shalat yaitu mereka yang lalai shalat
selain mendidik perbuatan baik juga dapat mendidik perbuatan jujur dan tertib. Mereka yang mendirikan tidak mungkin meninggalkan syarat dan rukunnya, karena apabila salah satu syarat dan rukunnya tidak dipenuhi maka shlatnya tidak sah (batal)
d. Shalat Akan membangun etos kerja
Sebagaimana keterangan – keterangan di atas bahwa pada intinya shalat merupakan penentu apakah orang – orang itu baik atau buruk, baik dalam perbuatan sehari – hari maupun ditempat mereka bekerja
Apabila mendirikan shalat dengan khusu maka hal ini akan mempengaruhi terhadap etos kerja mereka tidak akan melakukan korupsi atau tidak jujur dalam melaksanakan tugas

KESIMPULAN

1. Shalat merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap Tuhan, dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara
2. Shalat merupakan kewajiban bagi kaum muslimin yang mukallaf tanpa kecuali
3. Hikmah mendidirkan shalat yaitu:
a. Shalat mencegah perbuatan keji dan munkar
b. Shalat mendidik perbuatan baik dan jujur
c. Shalat akan membangun etos kerja

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur'an dan terjemahnya
2. Drs. Sidi Gazalba
Asas Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975
3. Hasbi Asy Syidiqi, Pedoman Shalat, Bulan Bintang, 1976
4. Imam Basori Assuyuti
Bimbingan Shalat Lengkap, Mitra Umat, 1998
5. Mimbar Ulama, Edisi September 2004



http://www.anakciremai.com/2008/04/makalah-fiqih-tentang-pengertian-sholat.html
READ MORE >> Pengertian Shalat dalam Fiqih
Category: 0 komentar

Syair Islam

Kasih Sayang Oleh: puisicintaku | Januari 21, 2009

Kasih sayang sejati

lahir dari cinta yang murni

tak meminta balasan

tak mengeluhkan keadaan

Kasih sayang sejati

melahirkan simpati

mengeratkan persahabatan

menambah persaudaraan

Kasih sayang sejati

terlahir setiap waktu

tak pandang bulu

tak membedakan kalbu

Kasih sayang sejati

kita pasti mampu …

http://puisiislam.blogdetik.com/tag/syair-cinta/

READ MORE >> Syair Islam
Category: 0 komentar

Syair Islam

Malam Lailatul Qadr
Andai aku bertemu malam lailatul qadr
maka akan kupanjatkan doa pengharapan ini pada Nya
wahai yang maha rahman dan rahim….

wahai hakim yang adil
wahai yang maha indah
wahai maha raja yang kekuasaan nya tiada sirnah
wahai yang ada dan tak akan pernah berakhir
ku mohon pada mu dengan pengharapan yang paling berharap…
bagai nelayan yang dihantam gelombang badai dan hampir tengelam..
oh Tuhan ku………
dengan kebesaran dan keadilan Mu
ku mohon jangan musnahkan umat manusia ini…..
dengan wabah penyakit,kelaparan,bencana alam dan perang ideologi
yang di ciptakan oleh mahluk durjana.
oh Tuhan ku…. bukalah topeng-topeng para penjahat yang bersenbunyi dipakaian-pakaian agama dan nasionalisme…
musnahkanlah rekayasa mereka yang membuat umat manusia saling membenci dan saling menyerang….
wahai yang maha Esa…
esakanlah bumi ini dengan cinta…
cinta yang tidak mengenal dendam,permusuhan,segala
perbedaan dan batas-batas wilayah….
cinta yang membuat bumi menjadi satu negara dunia,hingga damai dan indah untuk di tempati……
dengan cinta Mu kumohon musnahkan hasrat menguasai dan penindasan sesama umat manusia..
siapa saja yang bermaksud melemahkan,memiskinkan,membodohi,menjajah dan melenyapkan sebuah ras,bangsa dan agama dari keyakin umat manusia maka gagalkanlah agresinya….
wahai yang mengerakan hati manusia
gerakan hati pemimpin dan mantan pemimpin kami untuk selalu menjadi yang terbaik dan benar dalam memimpin umat
berikan keberanian untuk tobat dan mengembalikan harta kekayaan rakyat.
kupanjatkan doa dan pengharapan ku
andai ini adalah ramadhan terakhirku
maka ampuni segala dosa dan khilaf ku
dan terimalah amal ibadahku
Wahai yang maha pengampun dan maha penyayang.
Amiin……………..

http://radensomad.com/syair-islam.html

READ MORE >> Syair Islam
Category: 0 komentar

Ingin Bisa Khutbah dan Ceramah

Rubrik Konsultasi Dakwah
Diasuh oleh para Ustadz dari Lembaga Kajian Dakwatuna


Musyaffa Ahmad Rohim, Lc

Ingin Bisa Khutbah dan Ceramah

11/4/2008 | 04 Rabiuts Tsani 1429 H | Hits: 20.864
Oleh: Musyaffa Ahmad Rohim, Lc

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustadz, alhamdulillah, saya aktif berdakwah di kampus dan sekolah. Biasanya di kegiatan kerohanian Islam. Banyak yang bisa saya perbuat: merekrut kader, membina, dan mengarahkan rekan-rekan aktivis untuk melakukan terobosan program baru.

Namun, ada satu masalah yang hingga saat ini kerap mengganggu pikiran saya. Saya merasa tidak mampu mengisi tabligh atau forum-forum dakwah yang bersifat massal. Sudah beberapa kali saya memberanikan diri khutbah Jum’at dan ceramah di masjid. Tapi, kurang memuaskan. Banyak peserta yang kecewa dengan penampilan saya. Akhirnya, saya putuskan untuk tidak menerima undangan ceramah, khutbah, dan sejenisnya.

Benarkah keputusan saya itu? Tapi, hati kecil saya mengatakan saya ingin sekali bisa berkhutbah dan berceramah. Bagaimana ini, Ustadz?

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Khairul, Bekasi.

Jawaban:

Wa’alaikumussalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saudara Ahmad Khairul yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala dan para pengunjung dakwatuna.com di mana saja Anda berada, semoga Anda semua senantiasa mendapatkan bimbingan, hidayah, dan taufiq dari Allah subhanahu wa ta’ala, juga senantiasa dalam keadaan iman, Islam, dan ihsan yang terus terjaga dan meningkat dari waktu ke waktu. Amin.

Terlebih dari itu, semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menghimpun kita semua dalam barisan ad-da’wah ilaLlah, menyeru dan mengajak manusia untuk kembali ke jalan-Nya. Amin.

Saudara Ahmad Khairul, dari masalah yang Antum hadapi, saya menyimpulkan ada dua hal yang perlu kita bahas, yaitu:

  1. Pertama, masalah syumuliyatul ‘amal ad-da’awi wa takamuliyatuhu (kemenyeluruhan dan sinergitas kerja dakwah), dan
  2. Kedua, masalah tanmiyatul qudurat adz-dzatiyah lid-da’iyah (pengembangan kemampuan-kemampuan diri bagi seorang dai)

Masalah Pertama

Saudaraku, dakwah yang kita maksud di sini adalah mendakwahkan Islam atau menyerukan agama Islam kepada seluruh umat manusia, agar agama yang diridhai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala menjadi jalan hidup mereka dan mereka tidak meninggal kecuali dalam keadaan muslim.

Agama Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh, mencakup segala segi dan sisi kehidupan), dan juga mutakamil (antara satu segi dan satu sisi dengan segi dan sisi lainnya saling menyempurnakan, saling melengkapi dan membentuk sinergi).

Karena itulah, dakwah Islam juga bersifat syamilah (menyeluruh dan mencakup segala segi dan sisi kehidupan) dan mutakamilah (saling melengkapi, saling menyempurnakan dan membentuk sinergitas).

Dakwah yang syamilah dan mutakamilah ini menuntut:
• Adanya amal (kerja) yang syamil dan mutakamil.
• Adanya potensi, kemampuan, dan jerih payah yang syamil dan mutakamil pula.

Oleh karena itu, wahai saudaraku, kemampuan, potensi, dukungan dan jerih payah apa saja yang dimiliki oleh umat Islam ini, bisa dan harus disumbangkan untuk dakwah, sesuai dengan daya dukung masing-masing. Yang memiliki kemampuan rekruiting, silahkan menyumbangkan kemampuannya untuk merekrut. Yang memiliki kemampuan membina, pergunakanlah kemampuannya itu untuk membina.

Dan Anda, saudaraku Ahmad Khairul, perlu bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena Anda mempunyai kemampuan merekrut, membina, dan mengarahkan. Maksimalkan kemampuan ini agar semakin produktif lagi sehingga prestasi amal shalih Anda di sisi Allah subhanahu wa ta’ala akan semakin besar, banyak dan semakin baik. Semoga amal-amal Anda yang seperti itu menjadi pemberat amal kebaikan Anda di akhirat nanti.

Masalah Kedua

Saudara Ahmad Khairul dan pengunjung dakwatuna.com yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala di mana pun Anda berada, sebagai makhluq yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan ta’lim (Q.S. Al-‘Alaq: 3-5), tentunya kita tidak ingin berhenti pada garis kemampuan yang sekarang kita miliki semata.

Seorang bayi tidak pernah berhenti dari belajar dan berlatih. Dan setelah dia mampu merangkak, berjalan, berlari, naik sepeda dan semacamnya, ia tidak akan puas lalu berhenti dari belajar dan berlatih. Ia akan menjadi manusia yang terus belajar dan berlatih. Ia akan terus berusaha untuk memiliki berbagai kemampuan lain yang belum dimilikinya.

Seorang dai, secara kauni seperti umumnya manusia lainnya, ia akan terus belajar dan berlatih. Dan secara syar’i, ia memang diwajibkan (bahkan dalam bahasa hadits: di-fardhu-kan) untuk menuntut ilmu, ilmu syar’i, ilmu kaun (alam), ilmu madani-hadhari (kemajuan-peradaban) dan pengembangan potensi.

Oleh karena itu, kalau selama ini Anda berkeinginan untuk bisa berceramah secara massal, berkhuthbah dan semacamnya, keinginan seperti ini adalah wajar dan bahkan Anda diperintahkan untuk mempelajarinya. Dan jika Anda telah mempelajarinya, berusaha secara maksimal, dan sampai wafat Antum tetap belum menguasainya, maka tanggung jawab Anda untuk belajar hal ini sudah terpenuhi, insya Allah dan insya Allah, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan meminta pertanggungjawaban dari Anda: kenapa Anda tidak bisa?

Karenanya, teruslah Anda berusaha dan belajar. Sebelum Allah subhanahu wa ta’ala memanggil Anda, jangan pernah berhenti dari berusaha dan belajar.

Hal itu berlaku bukan sebatas pada kemampuan berceramah massal dan berkhuthbah semata, akantetapi berlaku pada segala macam ilmu yang di-fardhu-kan dan dituntut dari kita untuk kita pelajari, baik ilmu syar’i, kauni, madani-hadhari dan pengembangan potensi.

Saya menyarankan kepada Anda, wahai saudaraku Ahmad Khairul, belajarlah mulai dari yang kecil dan sederhana. Misalnya, menyampaikan taushiyah (pesan) atau mau’izhah di hadapan teman-teman Anda, bisa 2 orang, 3 orang atau 5 orang dalam tempo 2-3 menit. Lalu, secara gradual, periodik dan terus menerus Anda melakukan peningkatan. Baik dari sisi tempo waktu yang Anda sampaikan, maupun dari sisi jumlah pendengar yang mengikuti taushiyah atau mau’izhah Anda itu.

Anda juga bisa memulai dengan cara membaca teks yang telah terlebih dahulu Anda persiapkan. Catatlah segala hal yang ingin Anda sampaikan. Dan saat berbicara, Anda tinggal membaca teksnya saja. Insya Allah, secara perlahan dan sedikit demi sedikit Anda akan menjadi terbiasa untuk tidak melihat teks. Kalau suatu saat diminta berbicara secara mendadak, insya Allah akan bisa walaupun untuk pertama kalinya memang masih terasa berat dan menegangkan. Jika Anda mengalami kegagalan, janganlah merasa berkecil hati. Tetaplah belajar dan berlatih. Jangan lupa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, semoga Antum menjadi penyebab bagi terbukanya hati para pendengar, atau sebagiannya untuk menerima hidayah Allah subhanahu wa ta’ala.

Di samping hal-hal yang sifatnya teknis dan skill melalui belajar dan latihan, yang lebih penting untuk Anda perhatikan adalah masalah hubungan Anda dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Perbaikilah. Jaga kebersihan hati (tazkiyatun-nafs), khususnya yang terkait dengan ikhlash dan shidiq: Sebab, apa yang keluar dari hati yang ikhlash dan shidiq akan masuk dan diterima oleh hati para pendengarnya dan akan memberikan pengaruhnya di sana. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita semua sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang bertakwa. Amin.

READ MORE >> Ingin Bisa Khutbah dan Ceramah
Category: 0 komentar

Kurban Gotong Royong

BOLEH BERGOTONG ROYONG (IURAN) DALAM BERKURBAN


Pertanyaan

Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bolehkah bergotong-royong (iuran) dalam berkurban ? Berapa jumlah kaum muslimin seharusnya dalam bergotong-royong (iuran) melakukan kurban? Apakah harus dari satu keluarga ? Dan apakah bergotong-royong semacam itu bid’ah atau tidak?


Jawaban

Seorang laki-laki diperbolehkan melakukan kurban atas nama dirinya dan anggota keluarganya dengan satu ekor kambing. Dasarnya, hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkurban dengan satu ekor kambing , atas nama diri beliau sendiri dan atas nama keluarganya. [Hadits Muttafaqun Alaih]


Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibnu Majah dan Tirmidzi dan beliau menshahihkannya.


Dari Atha’ bin Yasir, ia berkata, “Saya bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana kurban-kurban yang sekalian (para sahabat) lakukan pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” Abu Ayyub menjawab, “Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang berkurban dengan satu ekor kambing atas nama dirinya dan atas nama keluarganya. Maka mereka memakannya dan memberi makan orang lain. Kemudian orang-orang bersenang-senang, sehingga jadilah mereka sebagaimana yang engkau lihat.” [HR Malik, kitab Dhahaya, Bab Asy-Syirkah Fi Adh-Dhahaya dan Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah no. 2563 dan lain-lain].


Sedangkan satu ekor unta dan setu ekor sapi, sah untuk gabungan tujuh orang. Baik mereka berasal dari satu keluarga atau dari orang yang bukan dari satu rumah. Baik mereka punya hubungan kerabat ataupun tidak. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengijinkan para sahabat untuk bergabung dalam (berkurban) unta dan sapi. Masing-masing tujuh orang. Wallahu a’lam. [Fatwa No. 2416]


Pertanyaan

Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Ayah seorang laki-laki meninggal dunia. Dan dia ingin menyembelih kurban atas nama ayahnya. Tetapi ada beberapa orang menasihatinya “tidak boleh menyembelih unta untuk kurban satu orang. Sebaiknya kambing saja, itu lebih utama dari pada unta. Orang yang mengatakan kepadamu sembelihlah unta maka orang ini keliru. Sebab unta tidak boleh untuk kurban, kecuai gabungan dari sekelompok orang”, benarkah?


Jawaban

Dibolehkah menyembelih binatang kurban atas nama orang yang telah meninggal dunia tersebut baik dengan seekor kambing atau seekor unta. Orang yang mengatakan, bahwa unta hanya untuk gabungan sekelompok orang, maka itu keliru. Sedangkan kambing tidak sah, kecuali untuk satu orang (pelaku kurban). Namun pelakunya itu bisa menyertakan orang lain dari anggota keluarganya dalam pahalanya. Adapun unta, boleh untuk pelaku satu orang atau tujuh orang, yang mereka beriuran dalam hal harganya. Kemudian, sepertujuh dari daging kurban unta itu merupakan kurban dari masing-masing tujuh orang. Sapi, dalam hal ini sama hukumnya seperti unta. [Fatwa No. 3.055]


BOLEHKAH DAGING KURBAN DIMAKAN BERSAMA-SAMA?


Pertanyaan:

Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Orang-orang pedalaman memasak daging kurban bersama-sama dan tidak membagikan daging tersebut. Kemudian mereka berkumpul bersama seperti walimah (pesta). Saya katakan kepada mereka : “Kalian bagi-bagikan lebih utama”. Tetapi mereka menjawab : “Masing-masing kami berkurban dengan satu ekor kurban. Dan setiap hari, kami makan bersama daging kurban tersebut di tempat masing-masing orang yang berkurban di antara kami (secara bergilir)”. Juga dibolehkan memecah-mecahkan tulangnya atau tidak ?


Jawaban

Bagi sekelompok orang, diperbolehkan masing-masing untuk menyembelih seekor binatang kurban pada hari-hari Ied, yaitu Idul Adha dan tiga hari sesudahnya (tasyriq). Dan mereka, boleh memecahkan tulangnya, kemudian memasaknya dan memakannya secara bersama-sama tanpa dibagi-bagikan. Sebagaimana diperbolehkan pula mereka membagi-bagikannya di kalangan mereka sebelum atau sesudah dimasak untuk dishadaqahkan. [Fatwa No. 3055]


RITUAL QURBAN


Ayat dalam Al Qur'an tentang ritual kurban antara lain : surat Al Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (anhar). Sementara hadits yang berkaitan dengan kurban antara lain: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” (HR. Ahmad dan ibn Majah).


Hadits Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” HR. Ahmad dan ibn Majah


“Jika masuk tanggal 10 Dzul Hijjah dan ada salah seorang diantara kalian yang ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya.” HR. Muslim


“Kami berqurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang, satu sapi untuk tujuh orang. “ HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi.


HUKUM QURBAN


Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah (utama), dan tidak ada seorangpun yang menyatakan wajib, kecuali Abu Hanifah (tabi’in). Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.


SYARAT-SYARAT QURBAN


Syarat dan ketentuan pembagian daging kurban adalah sebagai berikut :


· Orang yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan dengan cara halal tanpa berutang.


· Kurban harus binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri.


· Binatang yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak pincang, tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh.


· Hewan kurban telah cukup umur, yaitu unta berumur 5 tahun atau lebih, sapi atau kerbau telah berumur 2 tahun, dan domba atau kambing berumur lebih dari 1 tahun.


· Orang yang melakukan kurban hendaklah yang merdeka (bukan budak), baligh, dan berakal.


· Daging hewan kurban sebaiknya dibagi tiga, 1/3 untuk dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan, dan 1/3 bagian dihadiahkan kepada orang lain.
READ MORE >> Kurban Gotong Royong
Category: 0 komentar